Beranda | Artikel
Al-Qonun Al-Kully (Undang-Undang Universal : Mendahulukan Akal Daripada Dalil)
Kamis, 1 November 2012

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan wahyu al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai cahaya yang menyinari jalan yang mereka tempuh. Hati, perasaan, akal, dan pikiran mereka tundukan di bawah naungan cahaya wahyu tersebut.

Adapun Ahlul Bid’ah maka agama mereka dibangun di atas perasaan mereka, atau hawa mereka, atau akal dan otak mereka. Dalil ayat maupun hadits apa saja yang tidak sesuai dengan perasaan dan akal mereka maka mereka tolak atau mereka simpangkan maknanya. Mereka menjadikan akal pendek mereka sebagai hakim yang menentukan kebenaran wahyu, jika sesuai dengan akal mereka maka wahyu tersebut mereka terima, jika tidak maka mereka buang atau mereka simpangkan maknanya. Akal pendek mereka didahulukan daripada wahyu yang turun dari Allah pencipta alam semesta ini.

 

Pengagungan Para Imam Mu’tazilah dan Asyaa’iroh Terhadap Akal

A.   Para Imam Mu’tazilah

(1) ‘Amr bin ‘Ubaid (wafat 143 H), salah seorang pendiri madzhab mu’tazilah yang terkenal sangat zuhud. Akan tetapi terkenal menolak hadits-hadits yang shahih dengan akalnya. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata :

“Berkata Mu’aadz bin Mu’aadz : Aku mendengar ‘Amr bin ‘Ubaid berkata, “Jika ayat “Celaka kedua tangan Abu Lahab” berada di al-Lauh al-Mahfudz, maka Allah tidak punya hujjah/dalil terhadap anak Adam”.

Dan aku mendengarnya menyebut hadits As-Shoodiq al-Mashduuq (hadits Ibnu Mas’ud tentang janin 40 hari di rahim-pen) lalu ia berkata, “Kala aku mendengar al-A’masy menyebutkan hadits ini maka aku akan mendustakannya”…hingga ‘Amr bin ‘Ubaid berkata, “Kalau seandainya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya maka aku akan menolaknya”

‘Aashim al-Ahwal berkata, “Aku tidur, lalu aku melihat ‘Amr bin ‘Ubaid menggaruk-garuk sebuah ayat (untuk menghapusnya-pen), maka akupun mencelanya. Lalu ia berkata, “Aku kembalikan lagi ayat yang sudah kuhapus ini?”, aku berkata, “Kembalikanlah !”. Lalu ia berkata, “Aku tidak mampu” (Siar A’laam An-Nubalaa 6/104-105, lihat juga Mizaan al-I’tidaal 3/278)

 

(2) Ibrahim An-Nadzzoom (yang wafat pada tahun 220 sekian Hijriyah, akibat jatuh dari kamarnya karena  mabuk –silahkan lihat Siyar A’laam An-Nubalaa 10/541).

–         Ia telah menganggap bahwa akal bisa menaskh(menghapus) dalil naql/wahyu. Setelah Al-Imam Ibnu Qutaibah (beliau wafat 276 H) menyebutkan tentang hadits-hadits shahih yang didustakan oleh An-Nadzzoom, lalu ia rahimahullah berkata:

“Inilah perkataan An-Nadzdzoom sebagaimana telah kami jelaskan dan kami bantah. Dan ia juga memiliki perkataan yang lain tentang hadits-hadits yang dianggap menentang al-Qur’an dan hadits-hadits yang dianggap buruk dari sisi dalil akal, dan An-Nadzzoom menyebutkan bahwasanya dalil akal bisa menaskh-kan riwayat dan hadits-hadits” (Ta’wiil Mukhtalaf al-Hadiits, karya Al-Imam Ibnu Qutaibah hal 53, cetakan Mathba’ah Kurdistaan al-‘AAmiyah, cetakan tahun 1326 H)

–         Ia juga membolehkan mugkinnya adanya kedustaan pada riwayat-riwayat yang mutawatir jika menyelisihi akal.

Abdul Qoohir Al-Baghdaadi berkata :

“Diantara perkara An-Nadzdzom yang memalukan adalah perkataannya bahwasanya khabar mutawatir –padahal perawinya sangatlah banyak, dan bervariasinya semangat dan motivasi-motivasi- bisa saja terjadi kedustaan. Padahal ia berpendapat bahwasa khabar ahad mengharuskan ilmu” (al-Farq baina Al-Firoq, karya Al-Baghdaadi, tahqiq : Muhyiddin Abdul Hamid, Mathba’ah Al-Madani, hal 143)

(3) Az-Zamakhsari (wafat 538 H) telah menggelari akal dengan sang Sultan. Ia berkata :

“Janganlah engkau menerima riwayat dari fulan dan fulan. Berjalanlah dalam agamamu di bawah bendera Sulthon. Tidaklah singa yang bersembunyi di sarangnya lebih perkasa dari seseorang yang berdalil mengalahkan lawannya. Dan tidaklah kambing yang kudisan yang terliputi angin yang berembun lebih hina dari seorang yang bertaqlid dihadapan pemilik dalil” (Athwaaq Adz-Dzahab karya Az-Zamakhsari, maqoolah ke 37, sebagaimana tercantum dalam Qolaaid al-Adab fi Syarh Athwaaq Adz-Dzahab, hal 71)

Al-Mirza Yusuf Khoon –tatkala menjelaskan perkataan Az-Zamakhsari ini- ia berkata :

“Dalam kalimatnya ini Az-Zamakhsari mencela sikap taqlid dan ia berkata, “Janganlah engkau tenang dengan apa yang kau dengar berupa riwayat-riwayat yang musnad serta hadits-hadits yang dinukilkan. Akan tetapi tolonglah dalil naql dengan akal, genapkanlah riwayat dengan diroyah” (Qolaaid al-Adab fi Syarh Athwaaq Adz-Dzahab, hal 72)

Sangat jelas dalam sajak di atas bahwasanya Az-Zamakhsari memandang orang yang hanya mengikuti dalil naqli berupa riwayat dan hadits-hadits hanyalah seorang yang bertaqlid. Bahkan ia memandang bahwa orang yang seperti ini lebih hina dari pada pemilik dalil akal.

Az-Zamakhsari juga tatkala menafsirkan surat Yusuf ayat 111 ia berkata, “Karena qonun (hukum) yang dijadikan sandaran adalah sunnah, ijmak, dan qiyas, setelah dalil akal” (Al-Kasysyaaf : 3/331, tahqiq : Adil Ahmad Abdul Maujud, Maktabah Al-Ubaikaan, cetakan pertama). Di sini sangat jelas bahwasanya menurut Az-Zamakhsari bahwasanya akal lebih didahulukan dari pada sunnah, ijmak, dan qiyas.

 

B.   Para Imam Asyaa’iroh

(1) Ibnu Faurok (wafat 406 H), ia telah menulis kitabnya “Musykil al-Hadits wa Bayaanuhu”. Dalam buku tersebut terlalu banyak dalil-dalil wahyu yang ia takwil dengan makna menyimpang.

Ia berkata di muqoddimah kitabnya tersebut :

“Kami sebutkan dalam kitab tersebut hadits-hadits yang mashur yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dzohirnya mengesankan tasybiih (penyerupaan dengan makhluk-pen)” (Musykil al-Hadits wa Bayaanuhu, tahqiq : Daniel Jimariah, cetakan Ma’had al-Faronsi li ad-Dirosaat al-‘Arobiyah, Damaskus, hal 2)

Oleh karenanya mayoritas hadits-hadits yang menetapkan sifat-sifat Allah menurut akal Ibnu Faurok tidak bisa diterima dzohirnya karena menunjukkan tasybiih, karenanya iapun mentakwil/menyimpangkan dzohir hadits-hadits tersebut

(2) Abdul Qoohir al-Baghdaadi (wafat 429 H), ia telah mempersyaratkan agar suatu hadits diterima maka harus tidak bertentangan dengan akal. Ia berkata :

“Kapan saja sah suatu khobar (riwayat) dan matannya (makna lafal-lafalnya) bukanlah suatu hal yang mustahil menurut akal dan tidak ada dalil yang menunjukkan dinaskh hukumnya maka wajib untuk diamalkan” (Ushuul Ad-Diin hal 40, tahqiq : Ahmad Syamsuddiin, Daarul Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan pertama 1423 H)

(3) Abu Hamid al-Gozali (wafat 505 H), ia berkata :

“Wasiat yang kedua, hendaknya dalil akal sama sekali tidak boleh didustakan, karena akal tidak bisa didustakan. Kalau seandainya akal didustakan maka bisa jadi akal berdusta dalam penetapan syari’at, karena dengan akal-lah kita mengenal syari’at. Maka bagaimana diketahui kejujuran/kebenaran saksi dengan rekomendasi perekomendasi yang pendusta. Syari’at adalah saksi secara terperinci dan akal adalah perekomendasi syari’at” (Qoonun at-Takwiil hal 21, tahqiq : Mahmuud Bayjuu, cetakan pertama)

Lalu Al-Gozali menolak hadits-hadits yang menurutnya tidak masuk akal dengan mentakwil hadits-hadits tersebut. Iapun menolak adanya Allah diatas, juga menolak bahwasanya amal ditimbang, karena menurutnya amal adalah sesuatu yang abstrak tidak mungkin ditimbang, maka harus ditakwil. Demikian juga hadits tentang kematian didatangkan pada hari kiamat dalam bentuk seekor kambing, maka ia menyatakan bahwasanya hal ini tidaklah mungkin mengingat bahwa kematian adalah sesuatu yang abstrak bukan sesuatu yang konkrit (lihat Qonuun At-Takwiil 21-22)

 

Al-Qoonun al-Kulliy

Istilah al-Qoonun al-Kulliy adalah sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Fakhruddin Ar-Roozi (Muhammad bin ‘Umar bin Al-Husain, wafat 606 H). Al-Qoonun secara bahasa artinya hukum/undang-undang, adapun al-Kulliy secara bahasa artinya universal/keseluruhan. Maksud Ar-Roozi dengan al-Qoonun al-Kulliy yaitu menjadikan akal sebagai undang-undang yang berlaku secara universal dalam menentukan kebenaran dalil. Semua dalil baik dari al-Qur’an dan as-Sunnah harus ditimbang oleh akal.

Yang pada hakekatnya al-Qoonun al-Kulliy adalah bentuk “pengagungan akal di atas dalil”. Ar-Roozi tidaklah membawa sesuatu yang baru dalam hal ini, akan tetapi ia hanya melanjutkan para pendahulunya dari para imam al-Mu’tazilah dan para imam al-Asyaa’iroh –sebagaimana telah lalu nukilan perkataan-perkataan mereka-.

Ar-Roozi berkata –tentang al-Qonun al-Kulliy-:

“Ketahuilah bahwasanya dalil-dalil akal yang qoth’iy (pasti benarnya) jika telah menunjukkan akan tetapnya sesuatu lalu kita mendapatkan ada dalil-dalil naql (al-Qur’an dan hadits) yang dzohirnya mengesankan penyelisihan terhadap apa yang ditetapkan oleh dalil akal, maka kondisinya tidak akan lepas dari salah satu dari empat kemungkinan :

(Pertama) : Akal dan Naql kedua-duanya dibenarkan, maka ini adalah tidak mungkin, karena melazimkan pembenaran terhadap dua perkara yang saling kontradiktif

(Kedua) : Kita membatilkan kedua-duanya maka ini melazimkan pendustaan terhadap dua perkara yang saling kontradiktif dan ini juga mustahil

(Ketiga) : Kita mendustakan dzohirnya dalil-dalil naql (al-Qur’an dan Hadits) dan dzohirnya akal dibenarkan

(Keempat

Artikel asli: https://firanda.com/611-al-qonun-al-kully-undang-undang-universal-mendahulukan-akal-daripada-dalil.html